The Only One Sagitarius

 

tittle : The Only One Sagitairus

 

author : Kim Kiebra a.k.a Amkin

 

cast : Shin Minyoung and Lee Jinki

 

genre : Sad, Romance.

 

length : Drabble (maybe)

 

Nb : Annyoung readers. I’m new author freelance. So masih dibutuhkan begitu banyak saran dan masukan buat FF ini. Dan don’t be silent reader! Cerita di sini semuanya full Minyoung POV. So, selamat membaca..^^

 

 

 

Lagi. Posisi yang tak berubah sedari seminggu yang lalu. Menengadah menatap langit berpayungkan mendung. Menanti rintik hujan mengembunkan kaca jendela. Turut membasahi tangisan dari hati seorang gadis yang tak berdaya dihadapan takdir. Membawa perih, menumpahkan segala peluh seakan masa depan telah tertutup adanya. Menyedihkan? Bagiku ya. Tapi entah bagimu.

 

Andai aku tak terbangun kala itu. Andai aku tak melihat sosokmu di balik layar kaca itu. Andai kau tak bernyanyi saat itu, tidak, andai suaramu tak sebagus itu. Tentu kau takkan menghipnotisku. Membuat seorang gadis polos rela menunggu berjam-jam untuk melihat sosok sederhana dengan suara malaikat yang Tuhan anugerahkan, meski hanya lewat layar kaca.

 

Mengapa aku begitu bodoh? Apa aku yang terlalu bodoh atau kau yang terlalu pintar memikat hati seseorang? Bisa-bisanya aku jatuh pada seorang yang tak mungkin mengenalku, tak mungkin menatapku, tak mungkin mengajakku berbicara apa lagi berkenalan. Andai aku sadar sedari dulu. Itu justru membuatku terluka detik ini. Seiring gerimis di senja yang mulai turun..

 

Langit bertambah gelap. Pertanda malam dan mendung bersatu karena hujan mulai mengguyur. Ingin rasanya aku berlari keluar, menangis sekencang-kencangnya, membiarkan seluruh tubuhku terguyur olehnya, berteriak meneriaki namanya tapi aku tahu itu hal bodoh yang tak mungkin ku lakukan. Kalau aku sakit bagaimana? Apa hujan mampu menyembuhkanku?

 

Tidak. Tidak seperti kau yang mampu membuatku berdiri berjam-jam. Seperti orang bodoh yang menunggu pembagian sembako. Mengantri hanya demi melihatmu. Menatap wajahmu secara langsung. Bermodal nekat dan uang yang pas-pasan aku berangkat melihatmu. Demi melampiaskan segala hasratku untuk melihatmu secara langsung bukan lewat layar yang menyebalkan itu.

 

Aku juga berteriak. Berteriak meneriaki namamu. Mengagumi pesonamu. Menyanjung alunan dentingan pianomu, suara emasmu. Aku juga menangis. Menangis karena dirimu. Ikut terharu saat kau ikut menangis. Saat membawa sebuah lagu yang bagimu memiliki makna yang sangat mendalam. Karena itu adalah hadiah terindah yang kau berikan pada kami. Yang setia menantimu, mendukungmu, dan menjadi alasan bagimu untuk terus menjadi seseorang yang lebih baik. Yang tak pernah menyerah dan berpuas diri.

 

Kenapa aku begitu bodoh? Lagi-lagi aku merutuki diriku sendiri. Kenapa aku rela melihat sosokmu saat itu. Seharusnya aku tidak datang di konsermu. Seharusnya aku tidak menuruti semua rasa penasaranku. Kalau aku tahu ini justru akan membuatku semakin jatuh padamu namun perlahan melukai hatiku.

 

Aku tak habis pikir. Kenapa saat itu kau berani mencium pipi seorang gadis yang notabene tak pernah kau kenal? Apa kau tak takut dengan sejuta gadis yang melototiku di belakangsana. Seakan aku ini santapan empuk bagi singa-singa buas yang kelaparan. Apa kau tak takut pengagum-pengagum setiamu ini justru melukai seseorang yang tak ingin kau buat menangis karenamu? Bukan karena status sebagai seorang kekasih. Tapi sebagai seorang fans yang sangat kau sayangi sedari dulu. Dan itu bukan hanya aku namun juga mereka.

 

Cukup sudah kau tebar pesona di hadapanku. Cukup sudah kau membuatku seakan ingin mati setiap melihat senyummu. Yang seraya menghilangkan matamu yang sipit itu.

 

Tapi rasanya semua permintaanku tak mampu kau penuhi. Kau justru menolongku dari amukan singa-singa itu. Kau menarikku keluar dari gedung itu. membawaku lari dan membiarkanmu tertangkap sinar-sinar blitch yang seakan memang menunggu hadirnya ragamu di hadapan mereka. Kenapa kau berani menarik seorang gadis keluar begitu saja tanpa menggunakan sesuatu yang mampu menutupi wajahmu, identitasmu? Apa kau hanya ingin mendongkrak popularitasmu? Atau ingin membunuhku secara perlahan? Membuat jantungku bekerja tidak aturan. Membiarkan oksigen seakan tak tersalurkan secara baik di sekujur tubuhku. Membuat semua sistem ini serasa macet begitu saja.

 

Kau mendudukkanku di bangku taman. Menyodorkanku sebotol minuman dingin. Maaf. Itu kalimat pertama yang kau ucapkan. Aku tak mengerti apa maksudnya. Otakku seakan tak bisa berpikir cepat kala itu. Padahal aku seorang juara olimpiade fisika. Tak mungkin otakku ini berhenti bekerja begitu saja kalau bukan karena laki-laki di sampingku ini. Konyol.

 

“Kenapa kau harus meminta maaf?” tanyaku mencoba membunuh semua rasa kekagumanku padanya yang membuat lidahku kaku tak mampu berucap.

 

“Karena perbuatanku tadi. Aku sudah seenaknya mencium pipi seorang fans setiaku. Membuatmu justru jatuh di tangan singa-singa buas itu. Ya meski ku tahu, singa-singa itu juga harta terindahku selama ini,” ujarmu serius.

 

“Sudahlah. Lagi pula itu juga sudah menjadi tuntutan bagimu. Anggap saja ini sebagai hadiah dari Tuhan. Membuatmu mengenal salah satu dari sekian banyak pengagummu. Terima kasih atas bantuanmu tadi. Permisi,”ucapku seraya beranjak dari bangku taman dan berniat pergi menninggalkan taman itu sebelum sebuah tangan menahanku, membuat keinginanku terhenti sejenak.

 

“Berteman?”tanyamu yang nyaris membuatku pingsan. Apakah aku bermimpi? Mungkin itu yang aku rasakan saat itu. Sayangnya aku tahu sekarang kalau itu semua bukan mimpi. Sehingga membuatku kembali pada kenyataan. Kalau semuanya tak berakhir dengan indahnya begitu saja. Setidaknya berharap kala itu baik. Tapi kalau aku tahu akan berakhir seperti ini ku tolak tawaranmu saat itu.

 

Sejak itu hubungan kita semakin dekat tapi tidak melebihi batas seorang sahabat, kakak adik. Kau sering kali memberiku hadiah ulang tahun. Sesuatu yang sama sekali tak pernah kubayangkan. Kau selalu menyanyikan lagu sebelum tidur. Sesuatu yang sering dilakukan oleh sepasang kekasih tetapi itu bukan kita.

 

Aku tahu ada orang lain yang diam-diam kau kagumi. Bukan diriku namun dirinya. Wanita anggun nan pintar yang menjadi model ternama di masanya itu. Haha.. Ingin rasanya aku tertawa. Menertawankan tingkahku yang begitu konyol. Bermimpi di siang konyol. Seorang gadis biasa berharap mendapat hati dari seorang penyanyi terkenal. Harusnya aku tahu itu akan membuatku semakin sakit berkali-kali lipat.

 

Hingga saat itu tiba. Tepat diperujung tahun. Tidak lebih tepatnya pertengahan bulan Desember. Dimana hawa dingin mulai terasa menusuk tulang. Pertanda musim dingin telah datang. Kau menungguku di taman. Namun ku lihat wajahmu bukanlah wajah yang biasanya. Wajah putih yang terlihat seperti tahu bukan lagi wajah yang biasanya. Kau tampak pucak pasi. Pipimu bertambah tirus. Aku berlari kecil menghampiri dirimu.

 

Tiba-tiba kau memelukku. Menangis di bahuku. Aku terbengong melihat sikapmu. Kenapa? Kenapa kau menangis? Bukankah itu hal yang paling kau benci?

 

Putus. Itulah satu kata yang kau ucapkan setelah sekian lama tetesanmmu membanjiri bajuku. Kau terlihat begitu depresi setelah mengetahui kenyataan kalau wanita itu ternyata sudah tak mencintaimu lagi. Sakit. Memang sakit melihatmu seperti ini. Melihat orang yang aku cintai menangis di hadapanku tetapi bukan menangis karenaku. Melainkan wanita lain yang sangat kau cintai.

 

Pelukanmu merenggang. Genggaman tanganmu tersa dingin bagai es. Matamu begitu sendu. Haruskah aku senang? Atau ikut sakit melihatmu seperti ini? Mestinya aku senang karena kesempatan untuk mendapatkanmu datang lagi. Tapi kenapa aku begitu sedih? Sakit. Firasatku mengatakan ada hal lain yang akan terjadi. Aku tak tahu.

 

Tanpa kusadari tubuhmu jatuh. Jatuh hingga menempatkan dagumu ke pundakku kembali. Tak tak sama seperti sebelumnya. Kau terasa begitu lemas. Bukan lagi badan mungilku yang kau topang. Melainkan ragamu. Aku mulai panik. Tak tahu harus berbuat apa.

 

“Ya! Bangunlah! Kau kenapa?” teriakku sambil mengguncang tubuhnya.

 

Tak ada satu pun jawaban yang terucap dari bibir merahnya. Hujan sedikit demi sedikit mulai mengguyur kami. Sampai pada akhirnya bantuan datang. Dan itu adalah awal aku mengetahui sebuah penderitaan berat yang kau alami. Sebuah penderitaan besar yang membuatmu sengsara. Tapi kau sama sekali tak mau memberitahuku.

 

Aku masih ingat memori-memori singkat itu. Aku merasa bodoh berkali-kali lipat. Bagaimana aku bisa tidak mengetahui hal sepenting itu padahal aku selalu ada di dekatnya.

 

Dia meninggal. Kau meninggal tepat saat aku membawamu ke rumah sakit. Kenapa kau tak mau memberitahuku? Kenapa kau menyimpan semua penyakit beratmu dariku? Apa tak sebegitu berartikah diriku? Bohong! Pembohong! Kenapa kau berbohong? Penjahat! Kau memang penjahat. Sebegitu enaknya kau masuk, menyelinap, bahkan memporak-porandakan hati rapuh ini seenanknya. Semudah membalikkan telapak tangan.

 

Tak tahukah kau? Kau telah melukai beribu-ribu jiwa yang begitu gemar menyanjungmu. Kau telah melukai mereka. Terutama diriku. Kau tak tahukan? Seminggu aku berusaha menghentikan tangisan yang keterlaluan ini. Mencoba menjadi wanita tegar di hadapan semua orang. Tapi kau tahukanseperti apa aku? Tak mungkin sebegitu mudahnya aku merelakan kepergianmu. Teganya kau membiarkan aku terus memndam semua hasrat ini. Aku belum sempat mengungkapkannya. Semua. Semuanya. Apa kau tak merasa kasihan padaku? Sagitarius, tak bisakah kau kembali. Sekali saja sampai aku dapat menyampaikan semua perasaanku. Kau bukan orang yang jahatkan? Jadi bisakah kau membiarkan aku terus mengingatmu? Setidaknya ini yang bisa kulakukan untuk membayar semua penyesalanku yang tlah berlalu. Cause nothing will change my feeling. The only one Sagitarius.

 

3 thoughts on “The Only One Sagitarius

  1. huaaa, kasian jinki nya uda keburu meninggal sebelum gadis itu mengungkapkan perasaannya..
    walaupun cuma penjabaran kalimat tanpa dialog, ceritanya menyentuh banget..
    TT________TT

Leave a comment